BAB II
PARADIGMA PENDIDIKAN DI
INDONESIA
krisis multidimensional yang melanda negeri ini membuka mata kita terhadap
mutu pendidikan manusia Indonesia. Pun dengan sumber daya manusia hasil
pendidikan yang ada di negeri ini. Memang, penyebab krisis itu sendiri begitu
kompleks. Namun tak dipungkiri bahwa penyebab utamanya adalah sumber daya
manusia itu sendiri yang kurang bermutu. Jangan harap bicara soal
profesionalisme, terkadang sikap manusia Indonesia yang paling merisaukan
adalah seringnya bertindak tanpa moralitas. Dalam sebuah penelitian, diuangkapkan bahwa produktivitas manusia Indonesia
begitu rendah. Hal ini dikarenakan kurang percaya diri, kurang kompetitif,
kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (=selfstarter, N Idrus CITD
1999). Tentunya, hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down,
dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas. Dalam sebuah seminar yang bertajuk “Seminar Nasional Kualitas Pendidikan
dalam Membangung Kualitas Bangsa” salah satu pembicaranya yakni Drs Engkoswara,
M.Pd., dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, menegaskan bahwa,
memang dewasa ini, sepertinya pendidikan seakan mengalami kemajuan dengan
pertumbuhan sarjana, pascasarjana hingga doktor di berbagai bidang dan
munculnya gedung-gedung sekolah hingga perguruan tinggi yang cukup mewah.
Sayangnya, hingga kini pendidikan tidak bisa diakses secara merata oleh
penduduk Indonesia.
Seiring dengan itu, tokoh cendikiawan muslim, Nurcholis Madjid mengakui
bahwa, di Amerika, Jepang dan negara-negara lain baik di Asia dan Eropa,
perkembangan pendidikan hampir merata. Sebab, anggaran yang dialokasikan ke
pendidikan besar dan berjalan lancar. Tentu saja, pendapat ini tidak begitu
saja dilontarkan. Menurutnya, paling tidak 65% penduduk Indonesia berpendidikan
SD, bahkan tidak tamat. Selain itu kualitas pendidikan di negara ini juga
dinilai masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Tak heran jika
Indonesia hanya menempati urutan 102 dari 107 negara di dunia dan urutan 41
dari 47 negara di Asia. Cak Nur
–panggilan akrab sang profesor— menegaskan dalam laporan statistik, penyandang
gelar doktor (S3) di Indonesia sangat rendah. Dari satu juta penduduknya, yang
bergelar S3 (diraih secara prosedur) hanya 65 orang. Amerika dari satu juta
penduduknya, 6.500 orang bergelar S3, Israel 16.500, Perancis 5000, German
4.000, India 1.300 orang. Semua itu hasil dari pendidikan yang bermutu.
Bolehlah kita berkaca pada Korea Selatan. Negara ini memberikan prioritas untuk
majukan pendidikan. Contoh lainnya, Malaysia yang pada tahun 1970-an, masih
mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Kini, pendidikan di Malaysia jauh di
atas Indonesia. Mengapa? Pemerintahnya memberikan perhatian yang sangat serius.
Tidak seperti di Indonesia, pendidikan kurang diperhatikan.
Memang, tak dipungkiri kalau lulusan dari lembaga pendidikan di Indonesia
kurang relevan dengan kebutuhan tenaga yang diperlukan, sehingga hasilnya
kurang efektif dan mendorong terjadinya pengangguran intelektual. Permasalahan
masih ditambah lagi dengan minimnya fasilitas pendidikan yang memadai.Paling
tidak, untuk mengatasi masalah ini, menurut Engkoswara ada dua hal yang harus
dilakukan. Pertama adalah revitalisasi budaya bangsa. Artinya bangsa ini harus
kembali berpedoman kepada Pembukaan UUD 1945, bahwa pendidikan adalah upaya
utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbudaya, yang beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa, memiliki semangat juang yang tinggi dan memiliki
kreativitas pribadi yang terpuji. Kedua, mengenai manajemen pendidikan. Sistem
pendidikan nasional yang disempurnakan dan disahkan pada 2003, implementasinya
harus dilakukan dengan manajemen atau pengelolaan yang proporsional dan
profesional, baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro.
Lebih pada pelaksanaanya, Fakry mengajukan delapan poin paradigma
pendidikan yang baru yakni openess and flexibility in learning,
integrasi pendidikan ke dalam setiap aspek kehidupan manusia, responsif
terhadap perubahan, total learning, learning strategies, teacher-student
roles in leraning, ICT (information and communication technology) in
learning process serta learning content and learning outcome.
Dengan delapan poin itu, paling tidak akan menjadi dasar agenda pendidikan
ke depan yakni, pembahasan kurikulum, pembaruan dalam proses pembelajaran,
pembenahan manajemen pendidikan nasional, pembenahan pengelolaan guru dan
mencari serta mengembangkan berbagai sumber alternatif pembiayaan pendidikan.
Tentu saja semua itu tak lepas dari anggaran biaya. Dalam hal ini, anggaran
pendidikan kudu memadai dan harus diupayakan secara sungguh-sungguh agar
anggaran pendidikan negeri ini sekurang-kurangnya mencapai 20% dari APBN
ataupun APBD. Dan yang paling penting adalah, lembaga pendidikan sebaiknya
bebas pajak. Bahkan bila perlu ada pajak untuk pendidikan.
Menyikapi hal ini, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo dalam
sebuah pidatonya di acara peringatan Hari Pendidikan Nasional menegaskan sesuai
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mengamanatkan bahwa Pemerintah berkewajiban memenuhi hak setiap warganegara
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan, memberdayakan dan
memberadabkan kehidupan bangsa sesuai amanat konstitusi dan Undang-undang
Sisdiknas, dalam rangka mentransformasikan Indonesia menuju peradaban modern
yang canggih, madani dan unggul.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !